Senin, 21 November 2011

L Untuk ' LOVE ' atau ' LAJANG '


" Bu Rianti itu umur berapa, yaa... ? masih betah juga beliau melajang "
" Banyak, Pak. Rekan kerja kita yang memutuskan untuk melajang "
" Iya...kalau dipikir-pikir, laki-laki mana coba yang berani mendekati Bu Rianti. Semua kebutuhan sudah bisa ia penuhi, toh ! Kalau bukan laki-laki yang lebih sukses dari dia ya...pasti minder, toh ! Dia juga ogah melirik, toh ! Yang sudah mapan dari dia, kebanyakan sudah menikah. Susah kan cari laki buat perempuan macam dia toh ! ".
Begitu obrolan awal antara suami saya dengan sahabatnya. Saya suka topik ini, pikir saya yang kali itu duduk di jok belakang, sambil sibuk bbm an dengan seorang teman.
" Ya...melajang itu sekarang menjadi alternatif gaya hidup seseorang, kan ", celetuk saya. Nggak betah nggak kasih komen. Hehehehe... Tidak cuma perempuan bernama Bu Rianti, yang saya kenal tetap asyik melajang. Ada beberapa teman sesama perempuan yang melajang, yang saya punya. Tidak semuanya memiliki karir yang dahsyat, jika kedahsyatan ini dianalogkan dengan posisi penting pada sebuah perusahaan, atau gaji oke, atau mobil dan barang2 mewah yang mereka miliki.
" Iya...juga,ya. Tapi...apa mereka lama-lama nggak kesepian ya ? " , timpal sahabat suami saya.

Yang pernah saya baca, Japan Productivity Centre mengungkapkan fakta bahwa 80 % pegawai di Jepang, memilih melakukan kerja lembur dari pada kencan. Faktanya lagi, lebih dari separuh dari 80 % itu adalah perempuan.

Perempuan melajang, rasanya bukan hal baru lagi yaa sekarang.

Dari majalah The Economist, tren hidup melajang memang melanda kawasan Asia timur, tenggara dan selatan. Angka pernikahan di Asia menurun dari waktu ke waktu. Dulu, pernikahan dianggap sebagai moment dalam kehidupan yang harus dan suatu saat akan di jalani. Tetapi sekarang, tidak begitu rupanya. Mau menikah atau tidak, itu sebuah pilihan. Bisa jadi, menikah dianggap sebagai beban yang harus dihindari.

Faktor ekonomi, di duga menjadi penyebab utama munculnya tren melajang. Contoh kasus di Jepang. Perempuan di Jepang, menghabiskan lebih dari 40 jam perminggu untuk bekerja. Sementara hanya 30 jam di rumah. faktor pendidikan, ternyata ikut memicu menurunnya angka pernikahan dan melajunya tren hidup melajang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin kecil celah mereka memikirkan pernikahan.

Melajang, bagi kebanyakan perempuan dianggap sebagai ' banyaknya waktu bagi mereka untuk mengapresiasikan diri, aktualisasi diri...apapun dech sebutannya. Pokoknya ' ME TIME ' mereka akan banyak, tak perlu direcoki urusan suami dan anak.

Pilihan melajang, bukan melulu karena nasib urusan cinta yang buram, atau trauma. Ini benar-benar kehendak pribadi.

Obrolan seputar ' Bu Rianti yang melajang ' terus berlanjut :

" Si Elsye itu juga masih lajang,lho Pak ! "
" Itu anak siapa yang dia bawa ? saya kira dia menikah trus cerai "
" Itu keponakan dia "
" Yaaa....mungkin itu cara mereka menyalurkan naluri keibuannya "

Tul ! Beberapa perempuan mungkin beranggapan bahwa mudah saja menyalurkan naluri keibuan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah seperti Si Elsye itu. Bahkan setahu saya, ada pilihan lain. DI ( Donor insenmination ) atau IVF , Invitro Fertilization. Meskipun, di Indonesia....hal ini sangat dibatasi. Hanya untuk pasangan menikah yang gagal memiliki keturunan secara alami. Tetapi diluar negeri, yang begini sudah menjadi pilihan. Bahkan konon, rumornya...Madonna adalah satu perempuan yang sebelumnya berencana untuk melakukan ini sebelum akhirnya bertemu dengan MR. Right nya.

Obrolan terus berlanjut dalam bathin saya....
Akankah mereka , teman sesama perempuan yang memutuskan untuk melajang, akan terus melajang ?
Ah, rasa penasaran saya harus diredam nih...
Love VS Lajang.....mana yang menang yaa.....